Rabu, 07 Mei 2014

UPAYA MENGGULANGAN MASALAH PENDIDIKAN


RESUME DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN
UPAYA MENGGULANGAN MASALAH PENDIDIKAN

PERUBAHAN KURIKULUM
Ganti menteri ganti kurikulum. Itulah yang terjadi di dalam sistem pendidikan di negeri ini. Kebijakan perubahan kurikulum untuk tahun ajaran 2013/2014 kpun menuai kritik dari para pengamat pendidikan dan juga para guru yang nantinya akan menjadi ujung tombak dalam penerapannya. Ini menunjukkan, pendidikan di Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
            Pengamat pendidikan H.A.R Tilaar menilai, perombakan kurikulum yang terjadi di Indonesia dinilai kerap menyusahkan anak didik. Bayangkan saja, belum selesai menyerap ilmu dari sebuah kurikulum yang dianggap unggul, anak-anak ini harus beradaptasi lagi dengan kurikulum baru. “Perubahan kurikulum yang ada justru mengorbankan anak-anak Indonesia.”
Dikatakan, guru adalah ujung tombak pemberlakuan kurikulum baru ini. Namun jika guru-guru ini tidak memahami konsep kurikulum dengan baik, maka tujuannya tak dapat dicapai.”Ini diubah lagi. Berarti sudah 10 kali kurikulum di negara ini berubah. Ada kesalahan konseptual di sini. Anak-anak Indonesia yang akhirnya dikorbankan dari perubahan kurikulum ini,” kata Tilaar.
Dalam diskusi dengan tema “Kritik atas kebijakan perubahan kurikulum” yang digelar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), berkembang rumor bahwa perubahan kurikulum pendidikan nasional 2013 dikarenakan adanya pesanan Wakil Presiden RI, Boediono.
Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal FSGI, Retno Listiyarti yang mengaku juga mempertanyakan adanya rumor tersebut. Dari rumor yang beredar bahwa kurikulum pendidikan berubah karena adanya pesanan Wakil Presiden, Boediono, selaku perpanjangan tangan Presiden dalam mengurusi masalah pendidikan.
“Itu rumor ya, yang beredar bahwa (kurikulum) ini pesanan Wapres. Rumornya karena cucu beliau membawa tas (berisi buku) begitu berat. Saya pribadi tidak pernah mendengar langsung dari Pak Wapres,” kata Retno.
Terkait perubahan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, pernah mengatakan manfaatnya bagi siswa adalah, mereka tidak perlu lagi membawa banyak buku, sehingga kurikulum yang menggunakan tematik integratif ini juga mengatasi keluhan yang selama ini terjadi akibat banyaknya buku pelajaran yang harus dibeli siswa. “Murid tidak usah bawa 10 buku. Sehingga keluhan bukunya banyak. Guru akan jadi andalan, meski bukan satu-satunya sumber,” tambah Mohammad Nuh.
Kurikulum Berubah
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah akan mengubah kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, serta Sekolah Menengah Kejuruan dengan menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio saling melengkapi.
“Siswa untuk mata pelajaran tahun depan sudah tidak lagi banyak menghafal, tapi lebih banyak kurikulum berbasis sains,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kepada pers di Kantor Wapres di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Nuh usai memberikan presentasi mengenai pengembangan kurikulum 2013 yang dihadiri Wakil Presiden Boediono. Hadir dalam jumpa pers itu Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim.
Dikatakan Nuh, orientasi pengembangan kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan.
Untuk tingkat SD, katanya, saat ini ada 10 mata pelajaran yang diajari, yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri.
Tapi mulai tahun ajaran 2013/2014 jumlah mata pelajaran akan diringkas menjadi tujuh, yaitu pendidikan agama, pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan prakarya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka.”Khusus untuk Pramuka adalah mata pelajaran wajib yang harus ada di mata pelajaran, dan itu diatur dalam undang-undang,” kata Nuh.
Salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD, adalah bersifat tematik integratif. Dalam pendekatan ini mata pelajaran IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua pelajaran, yaitu dua mata pelajaran itu akan diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran.
Dikatakan untuk IPA akan menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia dan matematika, sedangkan untuk IPS akan menjadi pembahasan materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).
Mendikbud mengatakan, kurikulum 2013 itu diharapkan bisa diterapkan mulai tahun ajaran baru 2013, tapi sebelumnya akan diuji publik sekitar November 2012.”Masyarakat bisa memberikan masukan atas setiap elemen kurikulum mulai dari standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses hingga standar evaluasi. Adanya uji publik ini diharapkan kurikulum yang terbentuk telah menampung aspirasi masyarakat,” papar Nuh.

PENGOLAHAN PENDIDIKAN
Konsep Dasar dan Fungsi Pengawasan di bidang Pendidikan
Pada dasarnya pengawasan merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kahidupanorganisasi untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan tidak menyimpang darirencana yang telah ditetapkan. Dengan pengawasan akan diketahui keunggulan dankelemahan dalam pelaksanaan manajemen, sejak dari awal, selama dalam proses, dan akhir  pelaksanaan manajemen.
Keberhasilan proses pengawasan ditentukan oleh penilaian yang secara rinci dapat dapatmemberikan umpan balik berupa gambaran yang jelas tentang tingkat keberhasilan dalammencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Para pengawas dan Kepala Sekolah tidak akan dapat membuat saran-saran untuk pebaikan organisasi dan program sekolah yangdiinginkan, kecuali jika pada mereka tersedia hasil-hasil penilaian (Oteng Sutisna, 1986).
Dalam kaitan ini jelaslah bahwa fungsi pengawasan mencakup pengendalian, penilaian, pelaksanaan dan pengambilan tindakan penertiban yang sifatnya represif dan preventif terhadap kegiatan manajemen dalam organisasi. Oleh karena pengawasan dapat berfungsisebagai suatu alat pencegah terjadinya penyimpangan. Apabila dalam tindakan pengawasandikemukakan hambatan atau penyimpangan hendaknya diambil tindakan positif berupa perbaikan atau perubahan dalam pelaksanaannya.
Dalam manajemen pendidikan, tindakan pengawasan dan penilaian merupakan dua fungsiyang sangat erat kaitannya. Dengan demikian fungsi pengawasan dan penilaian pendidikantidak hanya memeriksa tindakan yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku, tetapisebaiknya menjadi motor penggerak pembaharuan pendidikan, dan dapat membina sekolahyang baik (Depdikbud, 1981).
Implikasi dari pendekatan ini ialah, bahwa derajat produktivitas sistem manajemen pendidikan ditentukan oleh mekanisme kerja sistem pengawasan dan penilaian pendidikanyang dikembangkan oleh pengelola, disamping partisipasi bawahan/staf yang lebih bermotivasi dalam operasionalisasi program tersebut.
Istilah pengawasan dalam organisasi bersifat umum, sehingga terdapat beberapa pengertian yang bervariasi seperti mengadakan pemeriksanaan secara terinci, mengatur kelancaran, membandingkan dengan standar, mecoba mengarahkan atau menugaskan, sertauntuk pembatasannya atau pengekangan (Kost and Rosenzweig, 1981). Namun padadasarnya pengawasan merupakan fungsi manajemen dimana setiap manajer untuk memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai denagn yang dikehendaki.
Dalam literature manajemen, pengawasan diartikan sebagai proses pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedangdilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengawasandimaksudkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan,kemudian membetulkannya dan mencegah perulangannya. Pengawasan dalam konsep ini berkaitan dengan orang , kegiatan ,benda (Oteng Sutisna, 1986). Pengawasan dalam pendidikan berarti mengukur tingkat efektivitas kerja personil pendidikan dan tingkatefisiensi penggunaan sumber-sumber daya pendidikan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian ini sasaran pengawasan pendidikan tidak hanya dalamsubstansi manajemen, akan tetapi juga menyangkut kegiatan professional yang harusdiselenggarakan sebagai beban kerja setiap personil pendidikan/unit kerja yang ada (Hadari Nawawi, 1983).
Dalam beberapa pengertian diatas, pada dasarnya pengawasan mempunyai dua unsur  pokok, yaitu :
1) Pengawasan menekankan kepada proses
2) Pengawasan diarahkan kepada koreksi dan membandingkan dengan tujuan.

Fungsi Pengawasan Pendidikan
Secara umum telah dikemukakan bahwa hasil pengawasan dapat memberikan manfaat bagi perbaikan dan peningkatan efektivitas proses manajemen organisasi. Lebih lanjut Hadari Nawawi (1983) mengemukakan bahwa fungsi pengawasan antara lain :
1. Memperoleh data yang setelah diolah dapat dijadikan dasar bagi usaha perbaikankegiatan dimasa yang akan datang.
2. Memperoleh cara bekerja yang paling efisien dan efektif atau yang paling tepat dan paling berhasil sebagai cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.  
3. Memperoleh data tentang hambatan-hambatan dan kesukaran-kesukaran yang dihadapi,agar dapat dikurangi atau dihindari.
4. Memperoleh data yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan usaha pengembanganorganisasi dan personil dalam berbagai bidang.
5. Mengetahui seberapa jauh tujuan telah tercapai.
Secara khusus dapat dikemukakan bahwa fungsi pengawasan pendidikan (sekolah), adalah :
1) Mengusahakan suatu struktur yang terorganisir dengan baik dan sederhana untuk menghilangkan salah pengertian diantara personil sekolah.
2) Mengusahakan supervisi yang kuat untuk menghilangkan “gap” yang terjadi dalamkeseluruhan program sekolah.
3) Mengusahakan informasi yang akurat dalam rangka pembuatan keputusan dan penilaian terhadap pelaksanaan pendidikan.
Proses Pengawasan Pendidikan
Pengawasan terdiri dari kegiatan-kegiatan yang merupakan upaya agar peristiwa dankegiatan dalam organisasi serasi dengan rencana. Meskipun setiap organisasi mempunyaikarakteristik yang berbeda (tergantung pada misi, jenis, bentuk dan sebagainya), tetapi dalamkegiatan pengawasan semua organisasi melaksanakan tahapan-tahapan pokok yang sama.Tahapan-tahapan tersebut yaitu : penentuan standar, pengukuran, perbandingan hasil pengukuran dengan standar, dan upaya “correction action”. Oteng Sutisna (1986) bahkanmeringkasnya menjadi tiga langkah besar:
1) menyelidiki apa yang sedang dilakukan;
2) membandingkan hasil-hasil dengan harapan;
3) menyetujui hasil-hasil itu atau tidak menyetujuinya, dalam hal yang terakhir perbaikanyang hendaknya diambil.
Fungsi pengawasan pendidikan merupakan yang memerlukan penerapan berbagai metodedan teknik untuk mendorong para pelaksana dalam rangka mencapai tujuan. Apabila prosesmanajemen dilaksanakan dengan baik, sekaligus kita dapat melihat dan memberikansupervisi yang kontinu atas pelaksanaan kerja pendidikan. Dalam petunjuk umum pelaksanaan pengawasan seko;lah di lingkungan Kanwil Depdikbud Profinsi Jawa Barat(1985) dikemukakan bahwa secara garis besar prosedur tahap pengumpulan data dan informasi, tahap pembuatan pertimbangan, dan tahap pengmabilan keputusan.
Karakteristik Pengawasan yang Efektif 
Beberapa karakteristik dari proses pengawasan yang efektif (Oteng Sutisna, 1986) adalah :
a. Pengawasan hendaknya disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan organisasi. 
b. Pengawasan hendaknya diarahkan pada penemuan fakta-fakta tentang bgaimana tugas-tugas dijalankan.
c. Pengawasan mengacu pada tindakan perbaikan.
d. Pengawasan yang dilakukan bersifat fleksibel yang preventif.
e. Sistem pengawasan dapat dipakai oleh orang-orang yang terlibat dalam pengawasan.
f. Pelaksanaan pengawasan harus mempemudah tercapainya tujuan-tujuan. Oleh Karenaitu pengawasan harus bersifat membimbing supaya para pelaksana meningkatkankemampuan melaksanakan pekerjaannya. mereka dalam

Isu Pengawasan Pendidikan di Sekolah.
Pengawasan pendidikan di sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkanefisiensi dan efektivitas penyelenggaraan organisasi sekolah. Dalam pendidikan di sekolah pengawasan dipakai dalam dua arti. Pertama pengawasan meliputi kegiatan mengarahkan dan membimbing maupun menilik,mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat pada pelaksanaan-pelaksanaan dan hasil-hasilnya. Kegiatan pengawasan semacam ini dipikirkanterutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana-rencana, kebijaksanaan-kebijaksanaan, instruksi-instruksi, dan prosedur-prosedur yang ditetapkan diikuti (Oteng Sutsina, 1986).
Kedua, pengawasan yang menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugaskewajiban dengan efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak menjaminkeselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan. Pengawasan biasdigunakan tidak hanya untuk mencegah salah, melainkan juga mengarahkan tindakan-tindakan pada tujuan organisasi sekolah.
Berdasarkan konsep tersebut, pelaksanaan pengawasan di sekolah harus mencakup pengendalian yang bersifat administrative dan akademik atau proses pengajaran. Tetapidalam prakteknya pelaksanaan pendidikan yang selama ini diterapkan cenderung hanya menyangkut aspek material saja seperti pemeriksaan keuangan, fasilitas, tata usaha kantor,sedangkan pengamatan dan pengendalian terhadap proses belajar mengajar sering kali luput dari perhatian. Bahkan pengawasan terhadap keseluruhan aspek dari fungsi manajemen pun tetap belum terlaksana.
Pengawasan tampaknya masih terkotak-kotak dan masih belum membentuk sistem yangmudah yang dapat merupakan instrumen untuk menjaga kelancaran proses manajemen pendidikan di sekolah. Pengawas di lembaga pendidikan selama ini lebih menonjolkan segifisik, seperti pengelolaan dana, alat, bangunan, dan pegawai. Yang kurang mendapat perhatian, padahal merupakan sasaran yang amat penting, adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah (Djam’an Satori,1990).
Perhatian terhadap sekolah hendaknya ditunjukan untuk mengkaji kesulitan-kesulitan teknis edukatif yang dihadapi guru-guru, bukan mengkaji hal-hal yang berurusan dengan teknis formal semata. Kondisi birokrasi yang sentralistis, otoriter dan menghadapi persoalan multi kompleks, juga tentunya mempersulit terlaksananya pengawasan secara efektif (Waluyo Rodam, 1989).
Konsep dasar Penilaian Pendidikan.
Kita sudah mengetahui bahwa dalam proses pendidikan di sekolah selalu melibatkan unsure penilaian. Namun keberadaan unsure ini tidak senantiasa dapat memberikan fungsi yang bersifat komprehensif bagi sekolah terutama yang menyangkut perbaikan dan pengembangannya.. Banyak factor yang berpengaruh berkenaan dengan fungsi penilaian dalam peningkatan pogram sekolah, salah satunya adalah makna yang ditafsirkan dari konsep penilaian itu sendiri.
Dalam praktek, bermacam-macam definisi penilaian telah dikembangkan. Pada kesempatan ini, penilaian akan didefinisikan dalam konteks pengembangan program pendidikan. Oleh Karen itu sangat penting dipahami bahwa tujuan penilaian bukan untuk membuktikan, akan tetapi memperbaiki (Stuff Lebeam, 1971). Dengan kerangka pemikiran ini tampak ada kaitan yang erat antara penilaian dan mutu pendidikan di sekolah. Selanjutnya konsep penilaian yang akan dibicarakan bertitik tolak dari tujuan penilaian tersebut.
Penilaian pendidikan merupakan suatu proses penentuan nilai atau keputusan dalam bidang pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan bidang pendidikan. Penentuan keputusan itu didahului dengan kegiatan pengumpulan data atau informasi, sehingga seorang pimpinan dapat menyusun auatu kebijakan terhadap suatu program yang sedang dikembangkan atau yang sedang dilaksanakan. Setiap orang yang terlibat dalam pendidikan, bagaimanapun macam dan ruang lingkup keputusan pendidikan itu, keputusan tersebut memerlukan informasi yang lengkap dan tepat. Informasi semacam ini akan diperoleh melalui penilaian.
Lee J. Cronbach (1990) merumuskan bahwa penilaian sebagai kegiatan pemeriksanaan yang sistematis dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dan akibatnya pada saat program dilaksanakan pemeriksaan yang diarahkan untuk membantu memperbaiki program itu dan program lain yang memiliki tujuan yang sama. Pengertian yang terkandung dalam definisi Cronbach, pada dasarnya sama dengan definisi diatas, bahwa penilaian meminta tinda kan lanjutan, yang pada dasarnya kearah penyempurnaan.
Tujuan dan Sasaran Penilaian Pendidikan.
Para penilai yakin bahwa hasil kerjanya akan bermanfaat bagi para personil pendidikandalam mengambil keputusan yang lebih baik jika dibandingkan dengan tidak ada kegiatan penilaian seperti yang mereka lakukan. Karena itu Oteng Sutisna merumuskan (1986) bahwa kegiatan penilaian pendidikan mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan pada akhir suatu periode kerja.
2. Untuk menjamin cara bekerja yang efektif dan edisien.
3.Untuk memperoleh fakta-fakta tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menghindarkan situasi-siatuasi yang dapat merusak.
4. Untuk memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan organisasi sekolah.
Permasalahan yang digarap dalam lapangan pendidikan cukup banyak, mencakupkegiatan pendidikan pada berbagai jenis dan jalur pendidikan. Namun titik pusat usaha pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja bagi perolehan hasil yang berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap (Suharsimi Arikunto, 1988). Karena itu Nana Sudjana(1989) dan Nuhi Nasution (1978) menyatakan bahwa lingkup penilaian pendidikan meliputi penilaian terhadap program pendidikan, proses pelaksanaan program dan hasil program.
Selanjutnya Depdikbud (1985) memberikan rincian tentang aspek-aspek yang dinilai dari perencanaan program, pelaksanaan program dan hasil program tersebut meliputi aspek-aspek:
1.Akademik atau pengajaran
2.Kegiatan umum sekolah (penerimaan murid baru, kalender ajaran, kegiatan umumsekolah, kalender mutasi, EBTA)
3.Personil pendidikan
4.Sarana dan prasarana pendidikan
5.Tata usaha sekolah
6.Pembiayaan
7.Manajemen, dan Hubungan kerja sekolah dengan instansi lain dan masyarakat.
Arah Penilaian Pendidikan
Tujuan dan kegunaan penilaian dapat diarahkan kepeda kepentingan berbagai keputusanseperti kaitannya dengan perencanaa, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun kelembagaan. Jika kita ingin melihat pendidikan sebagai pembentukan manusiaa Indonesia yang memiliki karakteristik khassebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN dan UU No.2 Tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional, penilaian dapat diarahkan kepada dua hal sebagai berikut :
1.Orientasi pada Nilai Intrinsik Pendidikan (Manusia Paripurna)
Pendidikan merupakan upaya dalam membina manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekertiluhur, rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Pasal 4).
Ada pandangan bahwa gagasan sekolah yang utama adalah bidang intelektual ataukognitif, sedangkan bidang emosi, moral, agama dan aspek estetik bukanlah garapannya. Hal ini mungkin dapat diterima kalau aspek-aspek itu dapat dibagi dalam kotak-kotak yang berdiri sendiri. Akan tetapi yang di didik itu manusia seutuhnya dan bidang-bidang tersebut erat bertalian dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi penilaian sebenarnya tidak harus menekankan pada hanya satu aspek saja, tetapi menyangkut berbagai aspek kepribadian secara menyeluruh.
Pada beberapa tahun ke belakang Beeby(1979:126) melaporkan praktek penilaian pendidikan di Indonesai semata-mata bertujuan untuk bias berhasil melanjutkan pelajaran ke universitas dan bukan untuk mendapatkan kesimpulan mengenai apa yang telah dicapai oleh seorang murid dari 12 tahun belajar yang telah dijalaninya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa penilaian semacam ini menyempitkan perhatian murid dan guru hanya pada studi yang ditunjukan untuk berhasil masuk perguruan tinggi. Keadaan ini lebih diperparah dengan adanya isu yang cukup hangat secara nasional dengan“mempermainkan” angka-angka pada raport saat berkumandangnya kebijakan penerimaan mahasiswa baru tanpa tes di beberapa perguruan tinggi (PMDK).
Disadari betul bahwa secara makro hasil penilaian dapat dijadikan indicator pencapaiankeberhasilan suatu lembaga dan sebagai bahan dalam meningkatkan performa lembaga, tetapikecenderungan yang terjadi malah menjauhkan dari harapan itu. Seorang guru (Suparman,1999:59) menyesalkan bahwa sistem penilaian saat ini banyak diarahkan kepada upaya pemeriksaan perbedaan-perbedaan individual antara siswa yang satu dengan siswa yang lain dalam setiap bidang studi.
Dalam situasi yang dikemukakan di atas, hubungan antara penilaian dankurikulum/sistem pendidikan sekolah hampir tidak ada. Pendefinisian kembali tentang konsep penilaian merupakan alternatif dalam reorientasi penilaian pendidikan pada tingkat persekolahan di Indonesia.
2. Orientasi Pada Mutu Eksternal (Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat)
Keberhasilan suatu program pendidikan dalam hal ini kompetensi lulusannya, tidak saja ditentukan oleh Pembina Progream (guru, kepsek), akan tetapi dibutuhkan pula oleh pemakain lulusannya serta masyarakat pada umumnya yang secara langsung atau tidak langsaung akan terkena akibat dari pada lulusan program pendidikan tersebut. Jadi dalam kasus IKIP misalnya, yang hampir setiap hari diberitakan dalam media masa jika kitahendak secara sehat memahaminya hendaknya kita harus mengenali terlebih dahulu siapa-siapa yang sebenarnya berkepentingan dan peduli terhadap IKIP. Dengan demikian program pendidikan IKIP ini selaras dengan kebutuhan mereka (Subino, 1991:2)
Mengutip kembali ulasan Beeby (1979:126) bahwa praktek penilaian pendidikan diIndonesia menyulitkan pelajaran keterampilan praktis dan kerja di masayarakatmemperoleh pijakan yang kuat di sekolah betatpun dilakukan perubahan-perubahankurikulum oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan demikian maka penilaian berhasil tidaknya lulusan suatu program pendidikantidak secara subyektif dinilai oleh orang-orang dalam lembaga itu sendiri, yaitu guru-guruatau kepala sekolah, tetapi juga turut dinilai oleh pemakai lulusan dan lebih-lebih olehkelompok profesional.
Adanya pihak luar yang bertindak sebagai penilai tingkat pencapaian keberhasilan pendidikan serta lulusannya, maka hal ini telah merupakan peletakan dasar bagi perbaikandan pengembangan program yang berkesinambungan yang dilaksanakan atas dasar kesadarandan inisiatif sendiri (Depdikbud, 1984:23).
Data-data lapangan menunjukan bahwa ada kecenderungan penilaian pendidikan memangsudah berorientasi pada nilai-nilai praktis. Sebagian masyarakat memberikan “judgement” bahwa sekolah yang baik adalah yang lulusannya cepat memperoleh pekerjaan karenadibekali keterampilan-keterampilan praktis. Bahkan keadaan ini sudah mengalihkan perhatianmasyarakat untuk mendidik anak-anaknya ke lembaga-lembaga kursus, ketimbangmeneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. 
Namun demikian jika ditelaah lebih lanjut akan nampak bahwa pemakaian itu bersifat parsial. Mereka melihat pendidikkan sebagai upaya mempersiapkan manusia menjadimekanistik atau instrumentalis.
Pandangan di atas mengakibatkan penilaian terhadap pendidikan sekolah hanyamengandung nilai-nilai praktis. Sementara itu tidak sedikit orang-orang (orang tua,masyarakat pendidikan, bahkan segelintir pakar dan pengambil kebijakan) terseret arusgelombang pasar pekerjaan yang membentuk konsepsi pendidikan tertentu dan mewarnaimakna yang terkandung dalam penilaiannya. Kemudian muncul polemik, adanya dua konsep pendidikan yang dikotomis;pendidikan sebagai kebutuhan hakiki manusia (kebebasanindividu) dan pendidikan yang berorientasi pasar.
Sebagai rambu-rambu, saran yang diajukan oleh Kepala Pusat Pengujian Depdikbud,Jahja Umar, Ph.D. (1992) patut menjadi alternatif untuk dapat memenuhi konsepsi pendidikan menurut UUSPN yakni penilaian hendaknya berorientasi pada hasil yang dicapaiindividu dan lembaga serta penilaian hendaknya berorientasi pada relevanasi (skebutuhanmasyarakat).
Hasil Penilaian dan Peningkatan Mutu Sekolah
Seringkali para “policy maker” melihat bahwa peningkatan mutu pendidikan banyak diupayakan melalui penyediaan sarana yang lengkap, pembaharuan kurikulum atau peningkatan biaya pendidikan, tanpa menyadari bahwa salah satu komponen dalam prosesadministrasi pendidikan yang menghasilkan informasi paling berharga dalam meningkatkanmutu pendidikan sering terabaikan, yang sering terlupakan dalam pemanfaatannya yang lebihluas ini tiada lain adalah penilaian.
Pada bagian awal sudah disinggung bahwa hasil penilaian merupakan informasi yangdapat digunakan untuk memperbaiki dan menyempurnakan program-program pendidikan. Disamping itu informasi tersebut dapat digunakan bagi kepentingan sertifikasi, seleksi,remedial, promosi dan sebagainya, serta untuk pertanggungjawaban pelaksana kepada pihak- pihak yang berkepentingan (Jahja Umar, 1992:12).
Saat ini penilaian hanya diakitkan dengan prestasi yang dicapai setiap siswa yaitu berupaangka-angka, dan kalaupun dijadikan bahan untuk perbaikan hanya digunakan padakepentingan yang sangat mikro sifatnya, seperti penyempurnaan metode mengajar atau pengembangan bahan ajar (Cece Herawan, 1990).























Tidak ada komentar:

Posting Komentar