RESUME
DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN
UPAYA
MENGGULANGAN MASALAH PENDIDIKAN
PERUBAHAN KURIKULUM
Ganti menteri ganti kurikulum. Itulah yang
terjadi di dalam sistem pendidikan di negeri ini. Kebijakan perubahan kurikulum
untuk tahun ajaran 2013/2014 kpun menuai kritik dari para pengamat pendidikan
dan juga para guru yang nantinya akan menjadi ujung tombak dalam penerapannya.
Ini menunjukkan, pendidikan di Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang
jelas.
Pengamat
pendidikan H.A.R Tilaar menilai, perombakan kurikulum yang terjadi di Indonesia
dinilai kerap menyusahkan anak didik. Bayangkan saja, belum selesai menyerap
ilmu dari sebuah kurikulum yang dianggap unggul, anak-anak ini harus
beradaptasi lagi dengan kurikulum baru. “Perubahan kurikulum yang ada justru
mengorbankan anak-anak Indonesia.”
Dikatakan, guru adalah ujung tombak
pemberlakuan kurikulum baru ini. Namun jika guru-guru ini tidak memahami konsep
kurikulum dengan baik, maka tujuannya tak dapat dicapai.”Ini diubah lagi.
Berarti sudah 10 kali kurikulum di negara ini berubah. Ada kesalahan konseptual
di sini. Anak-anak Indonesia yang akhirnya dikorbankan dari perubahan kurikulum
ini,” kata Tilaar.
Dalam diskusi dengan tema “Kritik atas
kebijakan perubahan kurikulum” yang digelar Federasi Serikat Guru Indonesia
(FSGI), berkembang rumor bahwa perubahan kurikulum pendidikan nasional 2013
dikarenakan adanya pesanan Wakil Presiden RI, Boediono.
Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal FSGI,
Retno Listiyarti yang mengaku juga mempertanyakan adanya rumor tersebut. Dari
rumor yang beredar bahwa kurikulum pendidikan berubah karena adanya pesanan
Wakil Presiden, Boediono, selaku perpanjangan tangan Presiden dalam mengurusi
masalah pendidikan.
“Itu rumor ya, yang beredar bahwa (kurikulum)
ini pesanan Wapres. Rumornya karena cucu beliau membawa tas (berisi buku)
begitu berat. Saya pribadi tidak pernah mendengar langsung dari Pak Wapres,”
kata Retno.
Terkait perubahan kurikulum 2013, Menteri
Pendidikan Mohammad Nuh, pernah mengatakan manfaatnya bagi siswa adalah, mereka
tidak perlu lagi membawa banyak buku, sehingga kurikulum yang menggunakan
tematik integratif ini juga mengatasi keluhan yang selama ini terjadi akibat
banyaknya buku pelajaran yang harus dibeli siswa. “Murid tidak usah bawa 10
buku. Sehingga keluhan bukunya banyak. Guru akan jadi andalan, meski bukan
satu-satunya sumber,” tambah Mohammad Nuh.
Kurikulum Berubah
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah
akan mengubah kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, serta Sekolah Menengah Kejuruan dengan menekankan aspek
kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio
saling melengkapi.
“Siswa untuk mata pelajaran tahun depan sudah
tidak lagi banyak menghafal, tapi lebih banyak kurikulum berbasis sains,” kata
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kepada pers di Kantor Wapres di
Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Nuh usai memberikan
presentasi mengenai pengembangan kurikulum 2013 yang dihadiri Wakil Presiden
Boediono. Hadir dalam jumpa pers itu Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Musliar Kasim.
Dikatakan Nuh, orientasi pengembangan
kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap,
keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan
menyenangkan.
Untuk tingkat SD, katanya, saat ini ada 10
mata pelajaran yang diajari, yaitu pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan
keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan
pengembangan diri.
Tapi mulai tahun ajaran 2013/2014 jumlah mata
pelajaran akan diringkas menjadi tujuh, yaitu pendidikan agama, pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan
prakarya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka.”Khusus
untuk Pramuka adalah mata pelajaran wajib yang harus ada di mata pelajaran, dan
itu diatur dalam undang-undang,” kata Nuh.
Salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya
untuk SD, adalah bersifat tematik integratif. Dalam pendekatan ini mata
pelajaran IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua pelajaran, yaitu dua
mata pelajaran itu akan diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran.
Dikatakan untuk IPA akan menjadi materi
pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia dan matematika, sedangkan untuk IPS akan
menjadi pembahasan materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKN).
Mendikbud mengatakan, kurikulum 2013 itu
diharapkan bisa diterapkan mulai tahun ajaran baru 2013, tapi sebelumnya akan
diuji publik sekitar November 2012.”Masyarakat bisa memberikan masukan atas
setiap elemen kurikulum mulai dari standar kompetensi lulusan, standar isi,
standar proses hingga standar evaluasi. Adanya uji publik ini diharapkan
kurikulum yang terbentuk telah menampung aspirasi masyarakat,” papar Nuh.
PENGOLAHAN PENDIDIKAN
Konsep Dasar dan Fungsi Pengawasan di
bidang Pendidikan
Pada dasarnya pengawasan
merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kahidupanorganisasi untuk menjaga
agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan tidak menyimpang darirencana yang telah
ditetapkan. Dengan
pengawasan akan diketahui keunggulan dankelemahan dalam pelaksanaan manajemen,
sejak dari awal, selama dalam proses, dan akhir pelaksanaan
manajemen.
Keberhasilan proses
pengawasan ditentukan oleh penilaian yang secara rinci dapat dapatmemberikan
umpan balik berupa gambaran yang jelas tentang tingkat keberhasilan
dalammencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Para pengawas dan Kepala
Sekolah tidak akan dapat membuat saran-saran untuk pebaikan organisasi dan
program sekolah yangdiinginkan, kecuali jika pada mereka tersedia hasil-hasil
penilaian (Oteng Sutisna, 1986).
Dalam kaitan ini jelaslah
bahwa fungsi pengawasan mencakup pengendalian, penilaian, pelaksanaan dan
pengambilan tindakan penertiban yang sifatnya represif dan
preventif terhadap kegiatan manajemen dalam organisasi. Oleh karena
pengawasan dapat berfungsisebagai suatu alat pencegah terjadinya penyimpangan.
Apabila dalam tindakan pengawasandikemukakan hambatan atau penyimpangan hendaknya
diambil tindakan positif berupa perbaikan atau perubahan dalam
pelaksanaannya.
Dalam manajemen
pendidikan, tindakan pengawasan dan penilaian merupakan dua fungsiyang sangat
erat kaitannya. Dengan demikian fungsi pengawasan dan penilaian pendidikantidak
hanya memeriksa tindakan yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku,
tetapisebaiknya menjadi motor penggerak pembaharuan pendidikan, dan dapat
membina sekolahyang baik (Depdikbud, 1981).
Implikasi dari pendekatan
ini ialah, bahwa derajat produktivitas sistem manajemen pendidikan
ditentukan oleh mekanisme kerja sistem pengawasan dan penilaian pendidikanyang
dikembangkan oleh pengelola, disamping partisipasi bawahan/staf yang
lebih bermotivasi dalam operasionalisasi program tersebut.
Istilah pengawasan dalam
organisasi bersifat umum, sehingga terdapat beberapa pengertian yang
bervariasi seperti mengadakan pemeriksanaan secara terinci,
mengatur kelancaran, membandingkan dengan standar, mecoba mengarahkan atau
menugaskan, sertauntuk pembatasannya atau pengekangan (Kost and Rosenzweig,
1981). Namun padadasarnya pengawasan merupakan fungsi manajemen dimana setiap
manajer untuk memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai denagn yang
dikehendaki.
Dalam literature
manajemen, pengawasan diartikan sebagai proses pengamatan
terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedangdilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya. Pengawasandimaksudkan untuk menunjukan
kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan,kemudian membetulkannya dan
mencegah perulangannya. Pengawasan dalam konsep ini berkaitan dengan orang
, kegiatan ,benda (Oteng Sutisna, 1986). Pengawasan dalam pendidikan
berarti mengukur tingkat efektivitas kerja personil pendidikan dan tingkatefisiensi
penggunaan sumber-sumber daya pendidikan dalam upaya mencapai
tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian ini sasaran pengawasan
pendidikan tidak hanya dalamsubstansi manajemen, akan tetapi juga menyangkut
kegiatan professional yang harusdiselenggarakan sebagai beban kerja setiap
personil pendidikan/unit kerja yang ada (Hadari Nawawi, 1983).
Dalam beberapa pengertian
diatas, pada dasarnya pengawasan mempunyai dua unsur pokok, yaitu :
1) Pengawasan menekankan
kepada proses
2) Pengawasan diarahkan kepada
koreksi dan membandingkan dengan tujuan.
Fungsi
Pengawasan Pendidikan
Secara umum telah
dikemukakan bahwa hasil pengawasan dapat memberikan manfaat bagi perbaikan
dan peningkatan efektivitas proses manajemen organisasi. Lebih lanjut
Hadari Nawawi (1983) mengemukakan bahwa fungsi pengawasan antara lain :
1. Memperoleh data yang
setelah diolah dapat dijadikan dasar bagi usaha perbaikankegiatan dimasa yang
akan datang.
2. Memperoleh cara bekerja
yang paling efisien dan efektif atau yang paling tepat dan paling berhasil
sebagai cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.
3. Memperoleh data tentang
hambatan-hambatan dan kesukaran-kesukaran yang dihadapi,agar dapat dikurangi
atau dihindari.
4. Memperoleh data yang
dapat dipergunakan untuk meningkatkan usaha pengembanganorganisasi dan personil
dalam berbagai bidang.
5. Mengetahui seberapa
jauh tujuan telah tercapai.
Secara khusus dapat dikemukakan bahwa
fungsi pengawasan pendidikan (sekolah), adalah :
1) Mengusahakan suatu
struktur yang terorganisir dengan baik dan sederhana untuk menghilangkan
salah pengertian diantara personil sekolah.
2) Mengusahakan supervisi
yang kuat untuk menghilangkan “gap” yang terjadi dalamkeseluruhan program
sekolah.
3) Mengusahakan informasi
yang akurat dalam rangka pembuatan keputusan dan penilaian terhadap
pelaksanaan pendidikan.
Proses
Pengawasan Pendidikan
Pengawasan terdiri dari
kegiatan-kegiatan yang merupakan upaya agar peristiwa dankegiatan dalam
organisasi serasi dengan rencana. Meskipun setiap organisasi mempunyaikarakteristik
yang berbeda (tergantung pada misi, jenis, bentuk dan sebagainya), tetapi
dalamkegiatan pengawasan semua organisasi melaksanakan tahapan-tahapan pokok
yang sama.Tahapan-tahapan tersebut yaitu : penentuan standar, pengukuran,
perbandingan hasil pengukuran dengan standar, dan upaya “correction
action”. Oteng Sutisna (1986) bahkanmeringkasnya menjadi tiga langkah besar:
1) menyelidiki apa yang
sedang dilakukan;
2) membandingkan
hasil-hasil dengan harapan;
3) menyetujui hasil-hasil
itu atau tidak menyetujuinya, dalam hal yang terakhir perbaikanyang hendaknya
diambil.
Fungsi pengawasan
pendidikan merupakan yang memerlukan penerapan berbagai metodedan teknik untuk
mendorong para pelaksana dalam rangka mencapai tujuan. Apabila prosesmanajemen
dilaksanakan dengan baik, sekaligus kita dapat melihat dan memberikansupervisi
yang kontinu atas pelaksanaan kerja pendidikan. Dalam petunjuk
umum pelaksanaan pengawasan seko;lah di lingkungan Kanwil Depdikbud
Profinsi Jawa Barat(1985) dikemukakan bahwa secara garis besar prosedur tahap
pengumpulan data dan informasi, tahap pembuatan pertimbangan, dan tahap
pengmabilan keputusan.
Karakteristik
Pengawasan yang Efektif
Beberapa karakteristik dari proses
pengawasan yang efektif (Oteng Sutisna, 1986) adalah :
a.
Pengawasan hendaknya disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan organisasi.
b.
Pengawasan hendaknya diarahkan pada penemuan fakta-fakta tentang bgaimana
tugas-tugas dijalankan.
c.
Pengawasan mengacu pada tindakan perbaikan.
d.
Pengawasan yang dilakukan bersifat fleksibel yang preventif.
e. Sistem
pengawasan dapat dipakai oleh orang-orang yang terlibat dalam pengawasan.
f.
Pelaksanaan pengawasan harus mempemudah tercapainya tujuan-tujuan. Oleh
Karenaitu pengawasan harus bersifat membimbing supaya para pelaksana meningkatkankemampuan
melaksanakan pekerjaannya. mereka dalam
Isu
Pengawasan Pendidikan di Sekolah.
Pengawasan pendidikan di
sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkanefisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan organisasi sekolah. Dalam pendidikan di sekolah pengawasan
dipakai dalam dua arti. Pertama pengawasan meliputi kegiatan mengarahkan dan
membimbing maupun menilik,mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat
pada pelaksanaan-pelaksanaan dan hasil-hasilnya. Kegiatan pengawasan semacam
ini dipikirkanterutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan
teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana-rencana,
kebijaksanaan-kebijaksanaan, instruksi-instruksi, dan prosedur-prosedur
yang ditetapkan diikuti (Oteng Sutsina, 1986).
Kedua, pengawasan yang
menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugaskewajiban dengan
efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak
menjaminkeselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan.
Pengawasan biasdigunakan tidak hanya untuk mencegah salah, melainkan juga
mengarahkan tindakan-tindakan pada tujuan organisasi sekolah.
Berdasarkan konsep
tersebut, pelaksanaan pengawasan di sekolah harus mencakup pengendalian
yang bersifat administrative dan akademik atau proses pengajaran. Tetapidalam
prakteknya pelaksanaan pendidikan yang selama ini diterapkan cenderung hanya
menyangkut aspek material saja seperti pemeriksaan keuangan, fasilitas, tata
usaha kantor,sedangkan pengamatan dan pengendalian terhadap proses belajar
mengajar sering kali luput dari perhatian. Bahkan pengawasan terhadap
keseluruhan aspek dari fungsi manajemen pun tetap belum terlaksana.
Pengawasan tampaknya masih
terkotak-kotak dan masih belum membentuk sistem yangmudah yang dapat merupakan
instrumen untuk menjaga kelancaran proses manajemen pendidikan di sekolah.
Pengawas di lembaga pendidikan selama ini lebih menonjolkan segifisik, seperti
pengelolaan dana, alat, bangunan, dan pegawai. Yang kurang
mendapat perhatian, padahal merupakan sasaran yang amat penting, adalah
pengawasan terhadap penyelenggaraan proses belajar mengajar yang
berlangsung di sekolah (Djam’an Satori,1990).
Perhatian terhadap sekolah
hendaknya ditunjukan untuk mengkaji kesulitan-kesulitan teknis edukatif yang
dihadapi guru-guru, bukan mengkaji hal-hal yang berurusan dengan teknis formal
semata. Kondisi birokrasi yang sentralistis, otoriter dan menghadapi persoalan
multi kompleks, juga tentunya mempersulit terlaksananya pengawasan secara
efektif (Waluyo Rodam, 1989).
Konsep
dasar Penilaian Pendidikan.
Kita sudah mengetahui
bahwa dalam proses pendidikan di sekolah selalu melibatkan unsure penilaian.
Namun keberadaan unsure ini tidak senantiasa dapat memberikan fungsi yang
bersifat komprehensif bagi sekolah terutama yang menyangkut perbaikan
dan pengembangannya.. Banyak factor yang berpengaruh berkenaan dengan
fungsi penilaian dalam peningkatan pogram sekolah, salah satunya adalah makna
yang ditafsirkan dari konsep penilaian itu sendiri.
Dalam praktek,
bermacam-macam definisi penilaian telah dikembangkan. Pada kesempatan ini,
penilaian akan didefinisikan dalam konteks pengembangan
program pendidikan. Oleh Karen itu sangat penting dipahami bahwa tujuan
penilaian bukan untuk membuktikan, akan tetapi memperbaiki (Stuff Lebeam,
1971). Dengan kerangka pemikiran ini tampak ada kaitan yang erat antara
penilaian dan mutu pendidikan di sekolah. Selanjutnya konsep penilaian yang
akan dibicarakan bertitik tolak dari tujuan penilaian tersebut.
Penilaian pendidikan
merupakan suatu proses penentuan nilai atau keputusan dalam bidang
pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan bidang pendidikan.
Penentuan keputusan itu didahului dengan kegiatan pengumpulan data atau
informasi, sehingga seorang pimpinan dapat menyusun auatu kebijakan terhadap
suatu program yang sedang dikembangkan atau yang sedang dilaksanakan. Setiap
orang yang terlibat dalam pendidikan, bagaimanapun macam dan ruang lingkup
keputusan pendidikan itu, keputusan tersebut memerlukan informasi yang lengkap
dan tepat. Informasi semacam ini akan diperoleh melalui penilaian.
Lee J. Cronbach (1990)
merumuskan bahwa penilaian sebagai kegiatan pemeriksanaan yang sistematis dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi dan akibatnya pada saat program dilaksanakan
pemeriksaan yang diarahkan untuk membantu memperbaiki program itu
dan program lain yang memiliki tujuan yang sama. Pengertian yang
terkandung dalam definisi Cronbach, pada dasarnya sama dengan definisi diatas,
bahwa penilaian meminta tinda kan lanjutan, yang pada dasarnya kearah
penyempurnaan.
Tujuan
dan Sasaran Penilaian Pendidikan.
Para penilai yakin bahwa
hasil kerjanya akan bermanfaat bagi para personil pendidikandalam mengambil
keputusan yang lebih baik jika dibandingkan dengan tidak ada
kegiatan penilaian seperti yang mereka lakukan. Karena itu Oteng Sutisna
merumuskan (1986) bahwa kegiatan penilaian pendidikan mempunyai tujuan-tujuan
sebagai berikut :
1. Untuk
memperoleh dasar bagi pertimbangan pada akhir suatu periode kerja.
2. Untuk
menjamin cara bekerja yang efektif dan edisien.
3.Untuk
memperoleh fakta-fakta tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menghindarkan
situasi-siatuasi yang dapat merusak.
4. Untuk
memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan
organisasi sekolah.
Permasalahan yang digarap
dalam lapangan pendidikan cukup banyak, mencakupkegiatan pendidikan pada
berbagai jenis dan jalur pendidikan. Namun titik pusat usaha pendidikan
adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja bagi perolehan hasil yang
berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap (Suharsimi Arikunto, 1988).
Karena itu Nana Sudjana(1989) dan Nuhi Nasution (1978) menyatakan bahwa lingkup
penilaian pendidikan meliputi penilaian terhadap program pendidikan,
proses pelaksanaan program dan hasil program.
Selanjutnya
Depdikbud (1985) memberikan rincian tentang aspek-aspek yang dinilai
dari perencanaan program, pelaksanaan program dan hasil program tersebut
meliputi aspek-aspek:
1.Akademik
atau pengajaran
2.Kegiatan
umum sekolah (penerimaan murid baru, kalender ajaran, kegiatan umumsekolah,
kalender mutasi, EBTA)
3.Personil
pendidikan
4.Sarana
dan prasarana pendidikan
5.Tata
usaha sekolah
6.Pembiayaan
7.Manajemen,
dan Hubungan kerja sekolah dengan instansi lain dan masyarakat.
Arah Penilaian Pendidikan
Tujuan dan kegunaan
penilaian dapat diarahkan kepeda kepentingan berbagai keputusanseperti
kaitannya dengan perencanaa, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pendidikan
baik yang menyangkut perorangan,
kelompok, maupun kelembagaan. Jika kita ingin melihat pendidikan
sebagai pembentukan manusiaa Indonesia yang memiliki karakteristik khassebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN dan UU
No.2 Tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional, penilaian dapat
diarahkan kepada dua hal sebagai berikut :
1.Orientasi
pada Nilai Intrinsik Pendidikan (Manusia Paripurna)
Pendidikan merupakan upaya
dalam membina manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekertiluhur, rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan (UUSPN Pasal 4).
Ada pandangan bahwa
gagasan sekolah yang utama adalah bidang intelektual ataukognitif, sedangkan
bidang emosi, moral, agama dan aspek estetik bukanlah garapannya. Hal ini
mungkin dapat diterima kalau aspek-aspek itu dapat dibagi dalam kotak-kotak yang
berdiri sendiri. Akan tetapi yang di didik itu manusia seutuhnya dan
bidang-bidang tersebut erat bertalian dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi
penilaian sebenarnya tidak harus menekankan pada hanya satu aspek saja,
tetapi menyangkut berbagai aspek kepribadian secara menyeluruh.
Pada beberapa tahun ke
belakang Beeby(1979:126) melaporkan praktek penilaian pendidikan di
Indonesai semata-mata bertujuan untuk bias berhasil melanjutkan pelajaran ke
universitas dan bukan untuk mendapatkan kesimpulan mengenai apa yang telah
dicapai oleh seorang murid dari 12 tahun belajar yang telah dijalaninya.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa penilaian semacam ini menyempitkan perhatian
murid dan guru hanya pada studi yang ditunjukan untuk berhasil masuk
perguruan tinggi. Keadaan ini lebih diperparah dengan adanya isu yang cukup
hangat secara nasional dengan“mempermainkan” angka-angka pada raport saat
berkumandangnya kebijakan penerimaan mahasiswa baru tanpa tes di beberapa
perguruan tinggi (PMDK).
Disadari betul bahwa secara
makro hasil penilaian dapat dijadikan indicator pencapaiankeberhasilan suatu
lembaga dan sebagai bahan dalam meningkatkan performa lembaga,
tetapikecenderungan yang terjadi malah menjauhkan dari harapan itu. Seorang
guru (Suparman,1999:59) menyesalkan bahwa sistem penilaian saat ini banyak
diarahkan kepada upaya pemeriksaan perbedaan-perbedaan individual antara
siswa yang satu dengan siswa yang lain dalam setiap bidang studi.
Dalam situasi yang
dikemukakan di atas, hubungan antara penilaian dankurikulum/sistem pendidikan
sekolah hampir tidak ada. Pendefinisian kembali tentang konsep penilaian
merupakan alternatif dalam reorientasi penilaian pendidikan pada
tingkat persekolahan di Indonesia.
2.
Orientasi Pada Mutu Eksternal (Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat)
Keberhasilan suatu program
pendidikan dalam hal ini kompetensi lulusannya, tidak saja ditentukan oleh
Pembina Progream (guru, kepsek), akan tetapi dibutuhkan pula oleh pemakain
lulusannya serta masyarakat pada umumnya yang secara langsung atau tidak langsaung
akan terkena akibat dari pada lulusan program pendidikan tersebut. Jadi dalam
kasus IKIP misalnya, yang hampir setiap hari diberitakan dalam media masa jika
kitahendak secara sehat memahaminya hendaknya kita harus mengenali terlebih
dahulu siapa-siapa yang sebenarnya berkepentingan dan peduli terhadap IKIP.
Dengan demikian program pendidikan IKIP ini selaras dengan kebutuhan
mereka (Subino, 1991:2)
Mengutip kembali ulasan
Beeby (1979:126) bahwa praktek penilaian pendidikan diIndonesia menyulitkan
pelajaran keterampilan praktis dan kerja di masayarakatmemperoleh pijakan yang
kuat di sekolah betatpun dilakukan perubahan-perubahankurikulum oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan demikian maka
penilaian berhasil tidaknya lulusan suatu program pendidikantidak secara
subyektif dinilai oleh orang-orang dalam lembaga itu sendiri, yaitu
guru-guruatau kepala sekolah, tetapi juga turut dinilai oleh pemakai lulusan
dan lebih-lebih olehkelompok profesional.
Adanya pihak luar yang
bertindak sebagai penilai tingkat pencapaian keberhasilan pendidikan serta
lulusannya, maka hal ini telah merupakan peletakan dasar bagi perbaikandan
pengembangan program yang berkesinambungan yang dilaksanakan atas dasar
kesadarandan inisiatif sendiri (Depdikbud, 1984:23).
Data-data lapangan
menunjukan bahwa ada kecenderungan penilaian pendidikan memangsudah
berorientasi pada nilai-nilai praktis. Sebagian masyarakat memberikan
“judgement” bahwa sekolah yang baik adalah yang lulusannya cepat
memperoleh pekerjaan karenadibekali keterampilan-keterampilan praktis. Bahkan
keadaan ini sudah mengalihkan perhatianmasyarakat untuk mendidik anak-anaknya
ke lembaga-lembaga kursus, ketimbangmeneruskan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi.
Namun demikian jika
ditelaah lebih lanjut akan nampak bahwa pemakaian itu bersifat parsial.
Mereka melihat pendidikkan sebagai upaya mempersiapkan manusia
menjadimekanistik atau instrumentalis.
Pandangan di atas
mengakibatkan penilaian terhadap pendidikan sekolah hanyamengandung nilai-nilai
praktis. Sementara itu tidak sedikit orang-orang (orang tua,masyarakat
pendidikan, bahkan segelintir pakar dan pengambil kebijakan) terseret
arusgelombang pasar pekerjaan yang membentuk konsepsi pendidikan tertentu dan
mewarnaimakna yang terkandung dalam penilaiannya. Kemudian muncul polemik,
adanya dua konsep pendidikan yang dikotomis;pendidikan sebagai kebutuhan
hakiki manusia (kebebasanindividu) dan pendidikan yang berorientasi pasar.
Sebagai rambu-rambu, saran
yang diajukan oleh Kepala Pusat Pengujian Depdikbud,Jahja Umar, Ph.D. (1992)
patut menjadi alternatif untuk dapat memenuhi konsepsi pendidikan menurut
UUSPN yakni penilaian hendaknya berorientasi pada hasil yang dicapaiindividu
dan lembaga serta penilaian hendaknya berorientasi pada relevanasi (skebutuhanmasyarakat).
Hasil
Penilaian dan Peningkatan Mutu Sekolah
Seringkali para “policy
maker” melihat bahwa peningkatan mutu pendidikan banyak diupayakan melalui
penyediaan sarana yang lengkap, pembaharuan kurikulum atau peningkatan
biaya pendidikan, tanpa menyadari bahwa salah satu komponen dalam
prosesadministrasi pendidikan yang menghasilkan informasi paling berharga dalam
meningkatkanmutu pendidikan sering terabaikan, yang sering terlupakan dalam
pemanfaatannya yang lebihluas ini tiada lain adalah penilaian.
Pada bagian awal sudah
disinggung bahwa hasil penilaian merupakan informasi yangdapat digunakan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan program-program pendidikan. Disamping itu
informasi tersebut dapat digunakan bagi kepentingan sertifikasi,
seleksi,remedial, promosi dan sebagainya, serta untuk pertanggungjawaban
pelaksana kepada pihak- pihak yang berkepentingan (Jahja Umar, 1992:12).
Saat ini penilaian hanya
diakitkan dengan prestasi yang dicapai setiap siswa yaitu berupaangka-angka,
dan kalaupun dijadikan bahan untuk perbaikan hanya digunakan padakepentingan
yang sangat mikro sifatnya, seperti penyempurnaan metode mengajar
atau pengembangan bahan ajar (Cece Herawan, 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar