PILAR – PILAR PENDIDIKAN
Pilar-pilar Pendidikan
Rekomendasi UNESCO
Pengertian Pilar-pilar
Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pilar”
diartikan sebagai“tiang penyangga” (terbuat dari besi atau beton).
kata
pilar dalam bahasa Inggris berarti pillars (sama artinya dengan pilar dalam
bahasa Indonesia).
Dalam
bahasa Arab sering disebut سﺎﺳأ.
Eksistensi pilar dalam berbagai hal bisa dikatakan sangat penting peranannya
sebagai penopang agar menjadi suatu yang utuh (unity). Bangunan atau rumah
berangkat dari pondasi yang dilengkapi
dengan pilar agar atap bisa berdiri kokoh dan tidak mudah roboh sehingga tampak
menjadi lengkap dan melengkapi. .
Istilah pilar dalam pendidikan bisa menjadi bagian
yang tak kalah penting, eksistensinya seperti halnya tujuan, sasaran, instrument
pendidikan, dll. Adapun maksud dari
pembahasan pilar-pilar pendidikan adalah bahwa sendi pendidikan ditopang oleh
semangat belajar yang kuat melalui pola belajar yang bervisi ke depan dengan
melihat perubahan-perubahan kehidupan.Dalam pendidikan, belajar merupakan
bagian yang tak terpisahkan karena pendidikan adalah usaha sadar untuk
menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran (belajar-mengajar). Belajar juga dikatakan sebagai key term
(kata kunci) paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa
belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.
Hal ini juga melihat dari kondisi zaman yang cepat
berubah terutama di bidang teknologi dan informasi sehingga visi paradigma
pendidikan harus relevan yang kemudian diturunkan ke dalam metode pembelajaran.
Yaitu merubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan
perubahan ini proses pendidikan menjadi proses bagaimana“belajar bersama antar
guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses
belajar. Sehingga lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat
belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa)
tapi learner (yang belajar).
Sebagai objek sekaligus subjek pendidikan manusia
menjadi titik sentral dalam proses
belajar yang mengarah pada tujuan pendidikan. Manusia belajar dari apa saja
di sekitarnya untuk survive sekaligus
pengembangan potensi diri, lahir dari ketidaktahuan dari rahim seorang ibu dan
dibekali pengelihatan, pendengaran dan akal untuk digunakan dalam tugasnya
sebagai khalifatullah fil ardh.
Berangkat dari sinilah, paradigma learning ingin diusung sebagai pilar
pendidikan untuk kepentingan manusia dengan perubahan zaman dan ini berangkat
dari paradigma belajar. Jadi maksud dari pilar-pilar pendidikan yang penulis
maksud dalam pembahasan ini adalah sendi-sendi pendidikan menurut Unesco harus
ditopang setidaknya oleh empat hal, learning to know, learning to do, learning
to be dan learning to live together.
Pendidikan merupakan
kebutuhan mendasar bagi manusia yang berakal budi untuk mempersiapkan dirinya
dalam memasuki era teknologi dan globalisasi di masa kini dan akan datang.
Kegagalan dalam pendidikan menyebabkan tidak berkembangnya potensi siswa untuk
menjadi manusia produktif dan berkualitas. Jadi pendidikan pada hakekatnya
adalah hak asasi manusia dalam proses mempersiapkan diri menuju masa depan yang
lebih baik.
Paradigma pendidikan
idealnya adalah untuk menciptakan generasi penerus bangsa dan kebutuhan
masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat dunia kerja dapat terpenuhi
oleh anak-anak yang memiliki keterampilan dalam hal-hal tertentu.
Untuk mencapai tujuan
mulia tersebut, diperlukan strategi dan paradigma baru dalam pengelolaan
pendidikan. Dalam laporan hasil konferensi UNESCO pada tahun 1998,
kepada Komisi Internasional tentang Pendidikan harus berlandaskan pada 4 pilar.
Ada 4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan
oleh UNESCO (Geremeck, 1986) yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to know)
, belajar untuk melakukan (learning to do) , belajar menjadi ( learning to be),
belajar dengan berkerjasama ( learning to live together) merupakan kebutuhan
mendasar bagi setiap peserta didik.
1.
Learning to Know (belajar untuk menguasai)
Belajar untuk mendapatkan
pengetahuan. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran yang memungkinkan
pelajar/mahasiswanya untuk tidak sekedar memperoleh pengetahuan tapi juga
menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar
untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik
yang tinggi.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan
usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi
kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak
sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang
tidak bermanfaat bagi kehidupan.Guna merealisir learning to know, pendidik
seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga
fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman
sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan
pengetahuan maupun ilmu tertentu
Learning to know mengandung
makna bahwa belajar tidak hanya berorientasi pada produk atau hasil belajar,
akan tetapi juga harus berorientasi pada proses belajar. Dalam proses belajar,
peserta didik bukan hanya menyadari apa yang harus di pelajari tetapi juga
diharapkan menyadari bagaimana cara mempelajari apa yang seharusnya dipelajari.
Kesadaran tersebut, memungkinkan proses belajar tidak terbatas di sekolah saja,
akan tetapi memungkinkan peserta didik untuk belajar secara berkesinambungan.
Inilah hakekat dari semboyan "belajar sepanjang hayat". Apabila hal ini dimiliki peserta
didik, maka masyarakat belajar (learning society) sebagai salah satu tuntutan
global saat ini akan terbentuk. Oleh sebab itu belajar untuk mengetahui juga
dapat bermakna belajar berpikir karena setiap individu akan terus belajar
sehingga dalam dirinya akan tumbuh kemauan dan kemampuan untuk berpikir. Learning to know, dengan
memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam
pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga
memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan
sepanjang hayat.
Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi
juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi
besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan
akademik yang tinggi. Secara implisit, learning
to know bermakna
belajar
sepanjang hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik
tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia
hidup, baik didalam maupun diluar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup
berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan
mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu
untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang
bertanggung jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
1)
Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam kandungan
hingga manusia meninggal.
2)
Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau
terlalu dini untuk belajar.
3)
Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/
totalitas kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang
yang identik dengan pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab membentuk
karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas bangsa ini terbentuk
sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang terbaik untuk anak
negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam
menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab
itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara saksama dalam
meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas
mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas,
penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik
guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. Guru bisa dikatakan unggul dan
profesional bila mampu
mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak bergantung pada orang
lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik
harus mampu berperan sebagai berikut:
a. Guru berperan
sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi
pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi
pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan sebagi sumber belajar
bagi anak didiknya.
b. Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam
kegiatan proses pembelajaran.
c. Guru sebagai
pengelola
Guru berperan menciptakan iklim blajar yang memungkinkan
siswa dapat belajar secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam
pengelolaan pembelajaran, yaitu:
a)
Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b)
Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c)
Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan
kegiatan diberikan reinforcement.
d)
Penguasaan secara penuh.
e)
Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
d. Guru sebagai
demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala
sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang
disampaikan.
e. Guru sebagai
pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa
dilihat dari adanya setiap perbedaan. Perbedaan inilah yang menuntut guru harus
berperan sebagai pembimbing.
a. f. Guru
sebagai mediator
Guru selain
dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan memilih
dan menggunakan media dengan baik.
g. Guru sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran siswa. Dengan penilaian
tersebut, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan
siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).
Kiat-kiat Agar Menjadi Guru Favorit menurut Fakhruddin (2010:97) yaitu:
a) Sabar
b) Bisa menjadi sahabat
c) Konsisten dan komitmen
dalam bersikap
d) Bisa menjadi pendengar
dan penengah
e) Visioner dan misioner
f) Rendah hati
g) Menyenangi kegiatan
mengajar
h) Memaknai mengajar
sebagai pelayanan
i) Bahasa cinta
dan kasih sayang
j) Menghargai proses
2.
Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Belajar untuk menerapkan. Sasaran
dari pilar kedua ini adalah kamampuan kerja generasi muda. Peserta didik
diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak
terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis melainkan juga terampil
dalam berkomusikasi, bekerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik.
Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang
intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Pendidikan merupakan proses belajar
untuk melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan
dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan
nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi
lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.Learning to do bisa berjalan
jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan
keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan
minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya
tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang
kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan
pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Learnning to do mengandung
makna bahwa belajar bukanlah sekedar mendengar dan melihat untuk mengakumulasi
pengetahuan, akan tetapi belajar dengan dan untuk melakukan sesuatu aktivitas
dengan tujuan akhir untuk menguasai kompetensi yang diperlukan dalam menghadapi
tantangan kehidupan. Kompetensi akan
dapat dimiliki oleh pesrta didik apabila diberikan kesempatan untuk belajar
dengan melakukan apa yang harus dipelajarinya secara langsung.Dengan demikian
learning to do juga berarti proses pembelajaran berorientasi pada pengalaman langsung (learning by experience).
Learning to do, untuk memperoleh
bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya,
kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini
juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan
sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks
lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus,
program bergantian antara belajar dan bekerja.
Pendidikan membekali manusia tidak
sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/ mengerjakan
sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sasaran
dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan
memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri tuntutan
tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan
kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring, designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam
situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang
mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang
lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini,
dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja dan
mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan
yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada
masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah kecendrungan dan kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Meskipun bakat dan minat
anak dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan
minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Lingkungan social
Yang termasuk dalam lingkungan social siswa adalah
masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan
siswa tersebut. Lingkungan social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga
siswa itu sendiri.
2)
Lingkungan nonsosial
Factor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah
gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya,
alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-faktor ini dipandang turut
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa (Muhibbin Syah, 2004:138).
Sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta
didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik
mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah
agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta
didik terlatih untuk memecahkan masalah.
Ada 4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan
oleh UNESCO (Geremeck, 1986) yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to
know) , belajar untuk melakukan (learning to do) , belajar menjadi ( learning
to be), belajar dengan berkerjasama ( learning to live together) merupakan
kebutuhan mendasar bagi setiap peserta didik.
3. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Learning to live together adalah belajar
untuk bekerjasama melalui proses bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai
dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara
individual maupun secara kelompok tidak mungkin dapat hidup sendiri atau
mengasingkan diri dari masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini termasuk juga
pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari akan adanya
perbedaan pandangan antar individu. Learning to live together, learning to live
with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas
interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
Dari
keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live
together, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan
suatu pilar yang sangat penting. Pilar
ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang
berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk
bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang
lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya
serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak
hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga
diarahkan ke learning to live together,
masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen
konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan
nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal
dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya
sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah,
(pemerintahan daerah).
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan
ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus
konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Di zaman yang
semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti konflik
nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu
didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima
suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda
untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan
kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, dan
pengertian.
Dalam kaitan ini adalah tugas
pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa hakekat manusia
adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Itulah sebabnya
Learning to live together menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan
jiwa perdamaian.
4.
Learning to be (belajar untuk menjadi)
Learning to be mengandung
arti bahwa belajar adalah proses untuk membentuk manusia yang memiliki jati
dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik harus berusaha memfasilitasi peserta
didik agar bealajar mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang
berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai individu sekaligus sebagai
anggota masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa kesadaran diri
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni makhluk hidup yang memiliki tanggung
jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya.
Learning
to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin
besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan
berkomunikasi.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi
lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu
pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan
memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta
didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan
pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri
diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar
berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar
menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain
aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1) Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat
dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna
mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2) Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
3) Minat
4) Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil
belajar mempunyai kolerasi positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh
melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan
bersifat otomatis.
5) Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya
sendiri yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh
terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara
akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik
berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).
Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
a.
Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus pula, dan sesuai
dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik tidak hanya diajarkan
IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan masalah, akan tetapi juga
hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah maraknya perbedaan pendapat
dimasyarakat. Dengan
ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
b.
Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang
sedemikian bagusnya, namun perlu diingat, masih banyak aspek penghalang dalam
pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya
SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat
atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan, kemudian ada lagi
fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat kemajuan proses
belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
c.
Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat
pilar pendidikan ini, maka pada gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi
masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
d.
Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan
atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan
muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.
Lima Pilar Pendidikan di Indonesia
Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II telah dibentuk dan saat ini mulai menyiapkan
kebijakan untuk 5 tahun ke depan. Khusus di bidang pendidikan, saat ini dicetuskan
beberapa pilar dalam pencapaian
tujuan
pendidikan nasional oleh Menteri Pendidikan Nasional. Demikian disampaikan
Kepala Pusat PPPPTK Matematika, Herry Sukarman, M.Sc. Ed, selaku Pembina
Upacara pada Upacara Bendera 17 Desember 2009. Dalam amanatnya, lebih lanjut
Kepala Pusat menjelaskan mengenai lima pilar ini yang meliputi pilar
ketersediaan (availability), pilar keterjangkauan (avordability), pilar
mutu (quality), dan pilar jaminan (assurance) serta kesetaraan(equity).
a). Pilar
Pertama Ketersediaan adalah terkait ketersediaan layanan pendidikan yang
memadai sesuai dengan standar, baik dalam kurikulum, sesumber, metode,
strategi, dll.
b). Pilar
Kedua adalah Keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip
pemenuhan hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa
terkecuali. Untuk mendukung keterjangkauan ini perlu didukung dengan pemanfaatan
berbagai media dan teknologi.
c). Pilar
Ketiga adalah Mutu. Peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian
utama, bukan saja dari output dan outcome tetapi menyangkut input dan proses
pendidikan.
d). Pilar
Keempat Penjaminan Mutu Pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih
banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor
mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan.
e). Pilar
Kelima adalah kesetaraan. Pendidikan harus menjangkau semua level masyarakat
dengan tidak ada pembedaan. Indonesia adalah negara besar dengan berbagai
keragaman, pendidikan harus mempu melayani semua warganya dengan setara
dan tidak membeda-bedakan adanya keragaman tersebut.
3. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Learning to live together adalah belajar
untuk bekerjasama melalui proses bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai
dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara
individual maupun secara kelompok tidak mungkin dapat hidup sendiri atau
mengasingkan diri dari masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini termasuk juga
pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari akan adanya
perbedaan pandangan antar individu. Learning to live together, learning to live
with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas
interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
Dari
keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live
together, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan
suatu pilar yang sangat penting. Pilar
ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang
berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk
bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang
lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya
serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak
hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga
diarahkan ke learning to live together,
masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen
konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan
nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal
dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya
sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah,
(pemerintahan daerah).
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan
ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus
konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Di zaman yang
semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti konflik
nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu
didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima
suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda
untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan
kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, dan
pengertian.
Dalam kaitan ini adalah tugas
pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa hakekat manusia
adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Itulah sebabnya
Learning to live together menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan
jiwa perdamaian.
4.
Learning to be (belajar untuk menjadi)
Learning to be mengandung
arti bahwa belajar adalah proses untuk membentuk manusia yang memiliki jati
dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik harus berusaha memfasilitasi peserta
didik agar bealajar mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang
berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai individu sekaligus sebagai
anggota masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa kesadaran diri
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni makhluk hidup yang memiliki tanggung
jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya.
Learning
to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin
besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan
berkomunikasi.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi
lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu
pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan
memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta
didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan
pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri
diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar
berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar
menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain
aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1) Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat
dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna
mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2) Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
3) Minat
4) Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil
belajar mempunyai kolerasi positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh
melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan
bersifat otomatis.
5) Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri
yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh
terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara
akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik
berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011)
Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
a.
Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus pula, dan sesuai
dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik tidak hanya diajarkan
IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan masalah, akan tetapi juga
hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah maraknya perbedaan pendapat
dimasyarakat. Dengan
ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
b.
Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang
sedemikian bagusnya, namun perlu diingat, masih banyak aspek penghalang dalam
pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya
SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat
atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan, kemudian ada lagi
fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat kemajuan proses
belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
c.
Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat
pilar pendidikan ini, maka pada gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi
masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
d.
Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan
atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan
muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.
Pilar-pilar
pendidikan lainnya:
5. Learning How
to Learn
Sekolah boleh saja selesai, tetapi
belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah terjawab, seribu masalah
menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan
dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to Leam
akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi
dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien,
dan penuh percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau
knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi
dan penting ada¬lah mereka yang mampu belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model
pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar “memilih” (menghafal)
menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan dalam
model belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh
karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang
dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang
akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya
sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya,
pada proses belajar “menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut
membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
6. Learning
Throughout Learn
Perubahan dan perkembangan kehidupan
berjalan terus menerus yang semakin keras dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada
jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Learning
Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa
ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil
pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus
dicari, maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.
Bertolak dari butir-butir tersebut,
gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang adalah:
pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru.
Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini. Kembangkan
nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan pandangan
baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini adalah
perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif, serta
mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu
masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin
terwujud di dalam sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang
berbudaya.
Kedua, perlunya perubahan metode
penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini rasanya terlampau
banyak menekankan penguasaan informasi untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya,
kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan kurang memikirkan terbinanya
manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang eksklusif, dikotomis,
dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik, dan
holistis.
Lima Pilar Pendidikan di Indonesia
Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II telah dibentuk dan saat ini mulai menyiapkan
kebijakan untuk 5 tahun ke depan. Khusus di bidang pendidikan, saat ini dicetuskan
beberapa pilar dalam pencapaian
tujuan
pendidikan nasional oleh Menteri Pendidikan Nasional. Demikian disampaikan
Kepala Pusat PPPPTK Matematika, Herry Sukarman, M.Sc. Ed, selaku Pembina
Upacara pada Upacara Bendera 17 Desember 2009. Dalam amanatnya, lebih lanjut
Kepala Pusat menjelaskan mengenai lima pilar ini yang meliputi pilar
ketersediaan (availability), pilar keterjangkauan (avordability), pilar
mutu (quality), dan pilar jaminan (assurance) serta kesetaraan(equity).
a). Pilar
Pertama Ketersediaan adalah terkait ketersediaan layanan pendidikan yang
memadai sesuai dengan standar, baik dalam kurikulum, sesumber, metode,
strategi, dll.
b). Pilar
Kedua adalah Keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip
pemenuhan hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa
terkecuali. Untuk mendukung keterjangkauan ini perlu didukung dengan pemanfaatan
berbagai media dan teknologi.
c). Pilar
Ketiga adalah Mutu. Peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian
utama, bukan saja dari output dan outcome tetapi menyangkut input dan proses
pendidikan.
d). Pilar
Keempat Penjaminan Mutu Pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih
banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor
mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan.
e). Pilar
Kelima adalah kesetaraan. Pendidikan harus menjangkau semua level masyarakat
dengan tidak ada pembedaan. Indonesia adalah negara besar dengan berbagai
keragaman, pendidikan harus mempu melayani semua warganya dengan setara
dan tidak membeda-bedakan adanya keragaman tersebut.
Menurut menteri baru, M. Nuh,
seperti dipaparkan oleh Prof. Dr. Fasli Jalal mengungkapkan lima pilar
pendidikan Indonesia dalam tingkat makro. Demikian kurang lebih kutipannya.
Kalau kita lihat kebijakan makro
dalam pendidikan seperti kata menteri yang baru prof M. Nuh:
menerjemahkan 5 pilar pembangunan pendidikan.
- Bagaimana agar ada ketersediaan pelayanan pendidikan. Asal ada anak Indonesia yang mau bersekolah, jangan sampai kapasitas yg ada tidak cukup mengakomodir mereka. Jadi jalur pendidikan itu harus ada.
- Itu saja tidak cukup, maka sesudah mengamati ketersediaan, harus ada kemampuan murid atau orang tua untuk mendapat akses terhadap yang sudah tersedia tadi. Affordability, keterjangkauan pada kapasitas yang tersedia.
- Itu pun belum cukup, maka bermutunya pelayanan tadi, yg terjangkau dan tersedia, harus bermutu karena kalau tidak mutu, mengurangi mapannya anak didik kita.
- Harus ada kesetaraan: antara kesetaraan desa dan kota, yang memerlukan perhatian khsusus dan yang normal, kesetaraan jender, kesetaraan dalam sosial-ekonomi.
- Bagiamana menjamin atau keterjaminan bahwa 4 hal di atas itu terlaksana dalam operasional.
Daftar pustaka
Salam, B. (1997). Pengantar Pedagogik. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Yusak, Muchlas.
2003. Wawasan Kependidikan, Empat Pilar Pendidikan. Semarang: Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan.
Http://Atikatikaaziz.Blogspot.com.2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html?m=1 (12 Maret 2012)
Terima kasih atas artikelnya.. Izin dijadikan sumber ya...
BalasHapusBarakallahu laki..😊😊
Terima kasih atas artikelnya.. Izin dijadikan sumber ya...
BalasHapusBarakallahu laki..😊😊
Terima kasih artikel nya. Sangat bermanfaat
BalasHapus